Welcome

Welcome

Kamis, 11 Desember 2014

Tuan, Izinkan Aku Mencintaimu Sebagai Saudara....

Hai Tuan, apa kabar?
Sepertinya sudah lama ya kita tidak berjumpa. Ah, tidak, bukan lama tak berjumpa, hanya sudah lama kita tidak berkomunikasi. Komunikasi, iya, komunikasi, tentang apapun, tentang segala hal. Setahuku dulu kita tidak pernah kehabisan topik pembicaraan, bahkan hal sepele pun bisa jadi bahan obrolan.

Tuan, kau ingat? Saat itu kita berkomunikasi lagi, iya dulu sebelum begini. Yah, walau hanya sekedar lewat chatting, tapi ternyata memang sudah lama sekali kita tidak berbicara. Berawal dari obrolan santai, dibumbui dengan candaan garing, lalu kemudian pembicaraan sedikit serius, setelah itu obrolan kembali menjadi tidak karuan, dan berakhir begitu saja. Masih sama seperti dulu, kau pergi tanpa pamit. Off tiba-tiba, menghilang begitu saja.

Hei Tuan, saat itu tiba-tiba tulisanku stuck ketika terdengar bunyi notifikasi di facebookku. Ternyata kau online lagi dan membalas pesanku. Tulisanku terhenti karena bingung harus menulis apa lagi. Tuan, kadang aku bingung, dan ini bukan terjadi yang pertama kali. Berkali-kali kita melewati masa "kosong". Kita seperti menghilang, tanpa ada berita, tanpa ada cerita. Kita tak saling bertegur sapa, seperti hilang begitu saja, seperti tak saling mengenal satu sama lain. Tapi kemudian, entah apa, entah siapa yang memulai, dan entah kenapa, ketika tersadar ternyata kita sedang berkomunikasi... Berkali-kali kita berusaha pergi, dan berkali-kali kembali lagi... Ah, Tuan, itu hanya perasaanku saja, atau kau juga merasakannya?

Tuan, aku mengutip lagu salah satu grup band Indonesia, "Seseorang di sana telah memilikimu... Aku kan berdosa bila merindukanmu..." Tapi apakah salah jika memang aku merindukanmu? Hanya sekedar merindukanmu, bukan untuk memilikimu, tak lagi terlintas di benakku untuk memilikimu, Tuan... Tidak lagi. Ini murni hanya rindu, rindu masa-masa dulu, ketika aku masih begitu terobsesi denganmu. Iya, dulu kau menyebutku hanya terobsesi denganmu. Kau tak paham rasa itu, Tuan, karena mungkin kau tak merasakannya.

Tuan, di seberang lautan sana ada hati yang menaruh harapannya padamu. Aku tak mengenalnya, tapi kurasa kau sangat mengenalnya. Dia mengikat hatinya padamu, dan mungkin kau pun menaruh besar harapan padanya. Kuharap kali ini memang benar adanya. Kuharap kau tidak mempermainkannya. Meski ada sedikit rasa kecewaku padamu, tapi ini tak sesakit dulu. Aku mendoakan yang terbaik untukmu Tuan, semoga kau dan dia bahagia selalu.

Tuan, yang perlu kau tahu, sampai sekarang masih terekam jelas cerita kita yang telah lalu. Entah, mungkin kau tak lagi mengingatnya. Tapi bagiku, itu adalah salah satu komponen penyusun sejarahku, secuil cerita yang akan rancu bila dibuang begitu saja. Jadi, akan tetap kusimpan dengan rapi di hati kecil yang sudah tidak berbentuk ini.

Tuan, aku salut padamu, kau tidak membenciku, kau juga tidak menjauhi aku. Sikapmu padaku masih sama seperti dulu, seperti tidak terjadi apa-apa, masih biasa-biasa saja. Jadi, kalau demikian adanya, buat apa aku yang harus merasa gelisah? Sepertinya kau nyaman kita begini. Sepertinya lebih baik kalau kita tetap begini. Begini lebih bebas, begini lebih tak terbatas. Begini, kita bisa seperti saudara, bisa lebih terbuka apa adanya. Dulu memang kau membuatku jatuh cinta, tapi sepertinya kini cintanya berbeda. Tuan, kini izinkan aku mencintaimu sebagai saudara. Ajari aku mencintaimu sebagai salah satu bagian dari keluarga...

Tuan, tanpa terasa sudah banyak yang kutulis tentangmu selama ini. Ini spontanitas, Tuan. Tidak ada yang dilebih-lebihkan. Aku hanya menuliskan apa yang aku rasakan. Maaf kalau kau risih, tapi ini hanyalah ungkapan hati. Ungkapan hati yang hanya bisa kutahan bila sudah berhadapan denganmu...


dari aku
yang diam-diam masih mengingatmu....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar