Welcome

Welcome

Senin, 01 Desember 2014

Sadarlah, Fin...

Aku bertemu dengannya tanpa disengaja. Lewat dunia maya. Aku mengenal dia, perlahan.
Hingga kini aku sadar, kejujuran bukanlah selamanya jalan terbaik dalam menilai seseorang.
Jujur tak benar-benar memulihkan.
Delapan bulan aku dipermainkan—mungkin saja lebih. Dibohongi. Diperdaya. Shit!

Padahal, delapan bulan—saat itu, aku benar-benar tulus. Terlebih untuk menerima segala kepalsuan yang kuanggap nyata dan entah itu seandainya nyata ataupun (walau ternyata) tidak sudahlah pasti perih rasanya. Oke, ini mulai terdengar rumit.
Hingga kini, aku tidak dapat memaafkan kepolosanku saat itu.
Ketika kamu berpikir terlalu positif dalam menilai seseorang, kau harus siap dengan rasa sakit yang sangat ketika dihadapi dengan kenyataan tengah diperdayai.
Mungkin hatiku masih terlalu lemah, hingga ia terlalu bodoh untuk memberikan kesempatan terus menerus pada pendusta.
Pernah ku merasa terlalu cepat mengenalnya. Sampai aku benar-benar takut untuk tenggelam lebih dalam dan dalam.. ah, toh dia sulit sekali mengenalku. Benar-benar mengenalku! Aku bodoh karena takut bertaruh sakit lagi. Karena seseorang berkata padaku, ketika cinta itu datang dengah cepat, ia juga akan pergi dengan cepat. Aku berpikir, aku sedang di luar lingkaran sekarang.
Ini yang kedua kalinya, (berusaha) mencintai orang yang sama walau dengan cara yang berbeda. Sepuluh kali sudah pengulangan tanggal sebelas itu. Aku masih saja menahan. Walau angin kian kencang. Semakin kencang..
Baiklah, walau sangat ingin aku ungkapkan.. aku hanya ingin diam.
Aku adalah seseorang yang selalu ingin menulis—di tiap merasa. Aku—dulunya, tak akan segan. Mengasihi cintaku melalui puisi. Karena sebenarnya aku memang suka menyanjung apapun yang ku suka. Dan akhirnya seperti itu, sama seperti yang dulu, membuatku dihempas. Ah, lucu.. bodohku.
Ada tawa mereka di balik itu—aku tahu, rasa iba yang merendahkan.
Dan aku tidak akan mengulanginya.
Apa aku pernah bercerita? Sangat sulit untukku mencintai. Benar-benar mencintai! Terlebih setelah disakiti. Terlebih lagi mencintai (lagi) orang yang telah menyakitiku. Huft
Aku tak suka perubahan. Maka aku tak percaya adanya perubahan. Tapi aku percaya perkembangan, ya itu berbeda.
Sekali aku dibohongi. Aku akan sangat sulit untuk percaya. Maaf. Tapi itu memang begitu. Jika tidak terlihat begitu, percayalah.. ada ribuan kecurigaan di otakku.
Tapi untuk memaafkan, tenang saja. Aku selalu tulus melakukannya. Dan ini kerap kali mereka manfaatkan. Aku memang tak bisa bertahan lama, untuk marah. Dendam? Mungkin iya.
Jadi, aku katakan, sulit sekali rasanya menjalani yang kedua ini. Walau tak lama lagi setahun. Semakin banyak kata-kata manis, aku malah menjadi curiga. Semakin aku diperhatikan, aku malah tak percaya. Dan ketika ia mulai menjauh, aku benar-benar merasa bodoh.
Apa aku salah lagi, Tuhan?
Hhmm..
Walau tak dapat dielakkan, aku adalah seseorang yang selalu berharap. Aku selalu menyakiti diriku dengan menimbun tiap harap.
Tapi kini, bolehkah aku berharap sekali saja, wahai hatiku?
Baiklah. Mungkin ini bukan yang pertama. Dan sangat bisa akan ada yang berikutnya lagi. Tapi, aku ingin berharap sekali lagi dengannya, dan aku berjanji ini yang terakhir. Dan jika ini gagal, aku tak akan kembali. Aku akan benar-benar pergi. Maafkan aku hatiku. Mungkin tegarmu tak sekuat logikaku, tapi izinkan aku sekali ini saja. Mencintainya tanpa syarat.
Baiklah, silakan bertanya. Dimana harga diri?
Huft
Hanya saja, terlalu naïf bagiku untuk tidak mengatakan telah mencintainya. Benar-benar terperangkap. Ini menyiksa. Dan pabila ia melakukannya lagi, menyakitiku seperti itu. Aku harus menerima, bahwa cinta sakit itu, yang selalu ku cari. Bahwa cinta adalah dia. Yang membatasi cintaku pada lelaki lain. Karena adalah dia, seseorang yang selalu aku pikirkan, dan membuatku merasa ajaib ketika memikirkannya seketika itu handphoneku berbunyi mengabarkan dia. Bahwa hanya dia yang (berusaha) selalu ada, walau terkadang tak mengerti, namun hanya dia yang benar-benar ingin aku tujukan segala kondisiku. Walau sekarang dia menjauh, dan aku merasa itu wajar saja. Aku sangat siap.
Karena rasa sesalnya, dia bersabar atas aku. Atas rasa bersalahnya, ia menghargai aku.
Dan mungkin aku telah tertipu lagi karena kini berpikir bahwa hanya dia yang rela melakukan apapun untukku, karena mencintaiku.
Sadarlah, Fin..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar