Welcome

Welcome

Kamis, 25 Desember 2014

Can't

Aku punya segudang kata di dalam sini *menunjuk kepala . A lot. Tapi rasanya sangatlah sukar untuk mengungkapkannya lewat sebuah tulisan.

Apa yang ada di pikiran aku belum tentu bisa aku ungkapkan dengan manis. Dan belum tentu bisa juga diungkapkan untuk menjadi serangkaian kata yang kelak menjadi kalimat yang bermakna dan kuharap bisa berguna kelak.

Setiap kata yang terlontar dari pikiranku ke dalam mesin pengetik ini, bukanlah sekedar kata yang begitu saja keluar karena keinginan untuk mengisi kekosongan waktu dan bukan pula untuk memberikan informasi bagi para khalayak. Apa itu pun aku belum tahu pasti.

Mungkin aku akan pergi beberapa detik untuk mencari inspirasi, keluar dari kotak ini..
1..
2..
3..
4..
5.. 6.. 7.. 8.. 9.. 10.. 11.. 12.. 13.. 14.. 15.. 16.. 17..

B e l u m d a p a t …

Haaaaha
Bisa kau rasakan bagaimana rasanya kau memendam sesuatu yang ingin kau ungkapkan tetapi tak bisa kau ungkapkan !! Ini yang saya rasakan sekarang.

Kamis, 11 Desember 2014

Tuan, Izinkan Aku Mencintaimu Sebagai Saudara....

Hai Tuan, apa kabar?
Sepertinya sudah lama ya kita tidak berjumpa. Ah, tidak, bukan lama tak berjumpa, hanya sudah lama kita tidak berkomunikasi. Komunikasi, iya, komunikasi, tentang apapun, tentang segala hal. Setahuku dulu kita tidak pernah kehabisan topik pembicaraan, bahkan hal sepele pun bisa jadi bahan obrolan.

Tuan, kau ingat? Saat itu kita berkomunikasi lagi, iya dulu sebelum begini. Yah, walau hanya sekedar lewat chatting, tapi ternyata memang sudah lama sekali kita tidak berbicara. Berawal dari obrolan santai, dibumbui dengan candaan garing, lalu kemudian pembicaraan sedikit serius, setelah itu obrolan kembali menjadi tidak karuan, dan berakhir begitu saja. Masih sama seperti dulu, kau pergi tanpa pamit. Off tiba-tiba, menghilang begitu saja.

Hei Tuan, saat itu tiba-tiba tulisanku stuck ketika terdengar bunyi notifikasi di facebookku. Ternyata kau online lagi dan membalas pesanku. Tulisanku terhenti karena bingung harus menulis apa lagi. Tuan, kadang aku bingung, dan ini bukan terjadi yang pertama kali. Berkali-kali kita melewati masa "kosong". Kita seperti menghilang, tanpa ada berita, tanpa ada cerita. Kita tak saling bertegur sapa, seperti hilang begitu saja, seperti tak saling mengenal satu sama lain. Tapi kemudian, entah apa, entah siapa yang memulai, dan entah kenapa, ketika tersadar ternyata kita sedang berkomunikasi... Berkali-kali kita berusaha pergi, dan berkali-kali kembali lagi... Ah, Tuan, itu hanya perasaanku saja, atau kau juga merasakannya?

Tuan, aku mengutip lagu salah satu grup band Indonesia, "Seseorang di sana telah memilikimu... Aku kan berdosa bila merindukanmu..." Tapi apakah salah jika memang aku merindukanmu? Hanya sekedar merindukanmu, bukan untuk memilikimu, tak lagi terlintas di benakku untuk memilikimu, Tuan... Tidak lagi. Ini murni hanya rindu, rindu masa-masa dulu, ketika aku masih begitu terobsesi denganmu. Iya, dulu kau menyebutku hanya terobsesi denganmu. Kau tak paham rasa itu, Tuan, karena mungkin kau tak merasakannya.

Tuan, di seberang lautan sana ada hati yang menaruh harapannya padamu. Aku tak mengenalnya, tapi kurasa kau sangat mengenalnya. Dia mengikat hatinya padamu, dan mungkin kau pun menaruh besar harapan padanya. Kuharap kali ini memang benar adanya. Kuharap kau tidak mempermainkannya. Meski ada sedikit rasa kecewaku padamu, tapi ini tak sesakit dulu. Aku mendoakan yang terbaik untukmu Tuan, semoga kau dan dia bahagia selalu.

Tuan, yang perlu kau tahu, sampai sekarang masih terekam jelas cerita kita yang telah lalu. Entah, mungkin kau tak lagi mengingatnya. Tapi bagiku, itu adalah salah satu komponen penyusun sejarahku, secuil cerita yang akan rancu bila dibuang begitu saja. Jadi, akan tetap kusimpan dengan rapi di hati kecil yang sudah tidak berbentuk ini.

Tuan, aku salut padamu, kau tidak membenciku, kau juga tidak menjauhi aku. Sikapmu padaku masih sama seperti dulu, seperti tidak terjadi apa-apa, masih biasa-biasa saja. Jadi, kalau demikian adanya, buat apa aku yang harus merasa gelisah? Sepertinya kau nyaman kita begini. Sepertinya lebih baik kalau kita tetap begini. Begini lebih bebas, begini lebih tak terbatas. Begini, kita bisa seperti saudara, bisa lebih terbuka apa adanya. Dulu memang kau membuatku jatuh cinta, tapi sepertinya kini cintanya berbeda. Tuan, kini izinkan aku mencintaimu sebagai saudara. Ajari aku mencintaimu sebagai salah satu bagian dari keluarga...

Tuan, tanpa terasa sudah banyak yang kutulis tentangmu selama ini. Ini spontanitas, Tuan. Tidak ada yang dilebih-lebihkan. Aku hanya menuliskan apa yang aku rasakan. Maaf kalau kau risih, tapi ini hanyalah ungkapan hati. Ungkapan hati yang hanya bisa kutahan bila sudah berhadapan denganmu...


dari aku
yang diam-diam masih mengingatmu....

Senin, 01 Desember 2014

Sadarlah, Fin...

Aku bertemu dengannya tanpa disengaja. Lewat dunia maya. Aku mengenal dia, perlahan.
Hingga kini aku sadar, kejujuran bukanlah selamanya jalan terbaik dalam menilai seseorang.
Jujur tak benar-benar memulihkan.
Delapan bulan aku dipermainkan—mungkin saja lebih. Dibohongi. Diperdaya. Shit!

Padahal, delapan bulan—saat itu, aku benar-benar tulus. Terlebih untuk menerima segala kepalsuan yang kuanggap nyata dan entah itu seandainya nyata ataupun (walau ternyata) tidak sudahlah pasti perih rasanya. Oke, ini mulai terdengar rumit.
Hingga kini, aku tidak dapat memaafkan kepolosanku saat itu.
Ketika kamu berpikir terlalu positif dalam menilai seseorang, kau harus siap dengan rasa sakit yang sangat ketika dihadapi dengan kenyataan tengah diperdayai.
Mungkin hatiku masih terlalu lemah, hingga ia terlalu bodoh untuk memberikan kesempatan terus menerus pada pendusta.
Pernah ku merasa terlalu cepat mengenalnya. Sampai aku benar-benar takut untuk tenggelam lebih dalam dan dalam.. ah, toh dia sulit sekali mengenalku. Benar-benar mengenalku! Aku bodoh karena takut bertaruh sakit lagi. Karena seseorang berkata padaku, ketika cinta itu datang dengah cepat, ia juga akan pergi dengan cepat. Aku berpikir, aku sedang di luar lingkaran sekarang.
Ini yang kedua kalinya, (berusaha) mencintai orang yang sama walau dengan cara yang berbeda. Sepuluh kali sudah pengulangan tanggal sebelas itu. Aku masih saja menahan. Walau angin kian kencang. Semakin kencang..
Baiklah, walau sangat ingin aku ungkapkan.. aku hanya ingin diam.
Aku adalah seseorang yang selalu ingin menulis—di tiap merasa. Aku—dulunya, tak akan segan. Mengasihi cintaku melalui puisi. Karena sebenarnya aku memang suka menyanjung apapun yang ku suka. Dan akhirnya seperti itu, sama seperti yang dulu, membuatku dihempas. Ah, lucu.. bodohku.
Ada tawa mereka di balik itu—aku tahu, rasa iba yang merendahkan.
Dan aku tidak akan mengulanginya.
Apa aku pernah bercerita? Sangat sulit untukku mencintai. Benar-benar mencintai! Terlebih setelah disakiti. Terlebih lagi mencintai (lagi) orang yang telah menyakitiku. Huft
Aku tak suka perubahan. Maka aku tak percaya adanya perubahan. Tapi aku percaya perkembangan, ya itu berbeda.
Sekali aku dibohongi. Aku akan sangat sulit untuk percaya. Maaf. Tapi itu memang begitu. Jika tidak terlihat begitu, percayalah.. ada ribuan kecurigaan di otakku.
Tapi untuk memaafkan, tenang saja. Aku selalu tulus melakukannya. Dan ini kerap kali mereka manfaatkan. Aku memang tak bisa bertahan lama, untuk marah. Dendam? Mungkin iya.
Jadi, aku katakan, sulit sekali rasanya menjalani yang kedua ini. Walau tak lama lagi setahun. Semakin banyak kata-kata manis, aku malah menjadi curiga. Semakin aku diperhatikan, aku malah tak percaya. Dan ketika ia mulai menjauh, aku benar-benar merasa bodoh.
Apa aku salah lagi, Tuhan?
Hhmm..
Walau tak dapat dielakkan, aku adalah seseorang yang selalu berharap. Aku selalu menyakiti diriku dengan menimbun tiap harap.
Tapi kini, bolehkah aku berharap sekali saja, wahai hatiku?
Baiklah. Mungkin ini bukan yang pertama. Dan sangat bisa akan ada yang berikutnya lagi. Tapi, aku ingin berharap sekali lagi dengannya, dan aku berjanji ini yang terakhir. Dan jika ini gagal, aku tak akan kembali. Aku akan benar-benar pergi. Maafkan aku hatiku. Mungkin tegarmu tak sekuat logikaku, tapi izinkan aku sekali ini saja. Mencintainya tanpa syarat.
Baiklah, silakan bertanya. Dimana harga diri?
Huft
Hanya saja, terlalu naïf bagiku untuk tidak mengatakan telah mencintainya. Benar-benar terperangkap. Ini menyiksa. Dan pabila ia melakukannya lagi, menyakitiku seperti itu. Aku harus menerima, bahwa cinta sakit itu, yang selalu ku cari. Bahwa cinta adalah dia. Yang membatasi cintaku pada lelaki lain. Karena adalah dia, seseorang yang selalu aku pikirkan, dan membuatku merasa ajaib ketika memikirkannya seketika itu handphoneku berbunyi mengabarkan dia. Bahwa hanya dia yang (berusaha) selalu ada, walau terkadang tak mengerti, namun hanya dia yang benar-benar ingin aku tujukan segala kondisiku. Walau sekarang dia menjauh, dan aku merasa itu wajar saja. Aku sangat siap.
Karena rasa sesalnya, dia bersabar atas aku. Atas rasa bersalahnya, ia menghargai aku.
Dan mungkin aku telah tertipu lagi karena kini berpikir bahwa hanya dia yang rela melakukan apapun untukku, karena mencintaiku.
Sadarlah, Fin..