Kamu
pernah menjadi bagian hari-hariku. Setiap malam, sebelum tidur,
kuhabiskan beberapa menit untuk membaca pesan singkatmu. Tawa kecilmu,
kecupan berbentuk tulisan, dan canda kita selalu membuatku tersenyum
diam-diam. Perasaan ini sangat dalam, sehingga aku memilih untuk
memendam.
Jatuh cinta terjadi karena proses yang
cukup panjang, itulah proses yang seharusnya aku lewati secara alamiah
dan manusiawi. Proses yang panjang itu ternyata tak terjadi, pertama
kali melihatmu; aku tahu suatu saat nanti kita bisa berada di status
yang lebih spesial. Aku terlalu penasaran ketika mengetahui kehadiranmu
mulai mengisi kekosongan hatiku. Kebahagiaanku mulai hadir ketika kamu
menyapaku lebih dulu dalam pesan singkat. Semua begitu bahagia.... dulu.
Aku
sudah berharap lebih. Kugantungkan harapanku padamu. Kuberikan
sepenuhnya perhatianku untukmu. Sayangnya, semua hal itu seakan tak
kaugubris. Kamu di sampingku, tapi getaran yang kuciptakan seakan tak
benar-benar kaurasakan. Kamu berada di dekatku, namun segala perhatianku
seperti menguap tak berbekas. Apakah kamu benar tidak memikirkan aku?
Bukankah kata teman-temanmu, kamu adalah perenung yang seringkali
menangis ketika memikirkan sesuatu yang begitu dalam? Temanmu bilang,
kamu melankolis, senang memendam, dan enggan bertindak banyak. Kamu
lebih senang menunggu. Benarkah kamu memang menunggu? Apalagi yang
kautunggu jika kausudah tahu bahwa aku mencintaimu?
Tuan,
tak mungkin kautak tahu ada perasaan aneh di dadaku. Kekasihku yang
belum sempat kumiliki, tak mungkin kautak memahami perjuangan yang
kulakukan untukmu. Kamu ingin tahu rasanya seperti aku? Dari awal,
ketika kita pertama kali berkenalan, aku hanya ingin melihatmu bahagia.
Senyummu adalah salah satu keteduhan yang paling ingin kulihat setiap
hari. Dulu, aku berharap bisa menjadi salah satu sebab kautersenyum
setiap hari, tapi ternyata harapku terlalu tinggi.
Semua
telah berakhir. Tanpa ucapan pisah. Tanpa lambaian tangan. Tanpa
kaujujur mengenai perasaanmu. Perjuanganku terhenti karena aku merasa
tak pantas lagi berada di sisimu. Sudah ada seseorang yang baru, yang
nampaknya jauh lebih baik dan sempurna daripada aku. Tentu saja, jika
dia tak sempurna—kautak akan memilih dia menjadi satu-satunya bagimu.
Setelah
tahu semua itu, apakah kamu pernah menilik sedikit saja perasaanku? Ini
semua terasa aneh bagiku. Kita yang dulu sempat dekat, walaupun tak
punya status apa-apa, meskipun berada dalam ketidakjelasan, tiba-tiba
menjauh tanpa sebab. Aku yang terbiasa dengan sapaanmu di pesan singkat
harus (terpaksa) ikhlas karena akhirnya kamu sibuk dengan kekasihmu. Aku
berusaha memahami itu. Setiap hari. Setiap waktu. Aku berusaha meyakini
diriku bahwa semua sudah berakhir dan aku tak boleh lagi berharap
terlalu jauh.
Tuan, jika aku bisa langsung meminta
pada Tuhan, aku tak ingin perkenalan kita terjadi. Aku tak ingin
mendengar suaramu ketika menyebutkan nama. Aku tak ingin membaca pesan
singkatmu yang lugu tapi manis. Sungguh, aku tak ingin segala hal manis
itu terjadi jika pada akhirnya kamu menghempaskan aku sekeji ini.
Kalau
kauingin tahu bagaimana perasaanku, seluruh kosakata dalam miliyaran
bahasa tak mampu mendeskripsikan. Perasaan bukanlah susunan kata dan
kalimat yang bisa dijelaskan dengan definisi dan arti. Perasaan adalah
ruang paling dalam yang tak bisa tersentuh hanya dengan perkatan dan
bualan. Aku lelah. Itulah perasaanku. Sudahkah kaupaham? Belum. Tentu
saja. Apa pedulimu padaku? Aku tak pernah ada dalam matamu, aku selalu
tak punya tempat dalam hatimu.
Setiap hari, setiap
waktu, setiap aku melihatmu dengannya; aku selalu berusaha menganggap
semua baik-baik saja. Semua akan berakhir seiring berjalannya waktu. Aku
membayangkan perasaanku yang suatu saat nanti pasti akan hilang, aku
memimpikan lukaku akan segera kering, dan tak ada lagi hal-hal penyebab
aku menangis setiap malam. Namun.... sampai kapan aku harus terus
mencoba?
Sementara ini saja, aku tak kuat
melihatmu menggenggam jemarinya. Sulit bagiku menerima kenyataan bahwa
kamu yang begitu kucintai ternyata malah memilih pergi bersama yang
lain. Tak mudah meyakinkan diriku sendiri untuk segera melupakanmu
kemudian mencari pengganti.
Seandainya kamu bisa
membaca perasaanku dan kamu bisa mengetahui isi otakku, mungkin hatimu
yang beku akan segera mencair. Aku tak tahu apa salahku sehingga kita
yang baru saja kenal, baru saja mencicipi cinta, tiba-tiba terhempas
dari dunia mimpi ke dunia nyata. Tak penasarankah kamu pada nasib yang
membiarkan kita kedinginan seorang diri tanpa teman dan kekasih?
Aku
menulis ini ketika mataku tak kuat lagi menangis. Aku menulis ini
ketika mulutku tak mampu lagi berkeluh. Aku mengingatmu sebagai sosok
yang pernah hadir, meskipun tak pernah benar-benar tinggal. Seandainya
kautahu perasaanku dan bisa membaca keajaiban dalam perjuanganku,
mungkin kamu akan berbalik arah—memilihku sebagai tujuan. Tapi, aku
hanya persinggahan, tempatmu meletakan segala kecemasan, lalu pergi
tanpa janji untuk pulang.
Semoga kautahu, aku
berjuang, setiap hari untuk melupakanmu. Aku memaksa diriku agar
membencimu, setiap hari, ketika kulihat kamu bersama kekasih barumu. Aku
berusaha keras, setiap hari, menerima kenyataan yang begitu kelam.
Bisakah
kaubayangkan rasanya jadi orang yang setiap hari terluka, hanya karena
ia tak tahu bagaimana perasaan orang yang mencintainya? Bisakah
kaubayangkan rasanya jadi aku yang setiap hari harus melihatmu
dengannya?
Bisakah kaubayangkan rasanya jadi seseorang yang setiap hari menahan tangisnya agar tetap terlihat baik-baik saja?
Kamu tak bisa. Tentu saja. Kamu tidak perasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar